Dolar AS Terpuruk, Wall Street Bangkit: Tarik Ulur Tarif Ciptakan Gejolak Baru.

Indeks Dolar AS tertekan ke level terendah sejak 2022 meski Wall Street mencatat rebound kuat.
Pelonggaran tarif elektronik memberi sentimen positif sementara ancaman tarif farmasi dan semikonduktor picu ketidakpastian pasar.
Indeks Dolar AS (DXY) berupaya pulih di sesi New York pada Senin setelah menyentuh level terendah sejak 2022 di area 99,60. Meski sempat terbebani oleh tekanan jual akibat penguatan EUR/USD dan GBP/USD, rebound ini muncul di tengah kekhawatiran stagflasi dan ketidakpastian perdagangan global. Pasar menyambut positif pelonggaran tarif AS atas elektronik, termasuk smartphone dan komputer, meski tekanan teknikal terhadap dolar masih kuat.
Wall Street merespons dengan kenaikan solid: Dow Jones dan S&P 500 masing-masing naik 0,8%, dipimpin oleh saham sektor teknologi seperti Apple dan Dell. Sementara itu, Presiden Trump mengisyaratkan tarif baru atas farmasi dan semikonduktor, namun memberi angin segar dengan kemungkinan penangguhan tarif mobil. Saham General Motors dan Ford melonjak, menyusul sentimen positif dari pelonggaran tarif elektronik.
Komentar dovish dari pejabat The Fed, termasuk Christopher Waller yang membuka peluang pemangkasan suku bunga jika tarif memicu resesi, semakin memperkuat ekspektasi pasar akan pelonggaran moneter. Namun, tekanan terhadap aset dolar tetap tinggi seiring arus keluar investor asing dari pasar AS. Dengan tidak pastinya arah kebijakan tarif dan data ekonomi penting seperti retail sales dan GDP Tiongkok yang akan dirilis minggu ini, volatilitas pasar diperkirakan tetap tinggi.
Analisis Pengaruh Terhadap Dollar AS:
DXY berada di level terendah sejak 2022 meskipun mencoba rebound, menunjukkan tekanan jual masih kuat.
Arus keluar investor asing dari aset-aset AS akibat ketidakpastian kebijakan tarif dan pelemahan prospek ekonomi menekan daya tarik dolar.
Ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed meningkat, menyusul komentar dovish dari Christopher Waller, yang menambah tekanan negatif terhadap USD.
Secara keseluruhan berpengaruh terhadap harga Dollar AS melemah.
Harga Emas Terkoreksi dari Rekor Tertinggi di Tengah Meredanya Sentimen Risiko.

Harga emas terkoreksi dari level tertinggi $3.245 karena membaiknya sentimen risiko global.
Pengecualian tarif AS untuk elektronik meredakan ketegangan dagang dan menekan permintaan safe haven.
Harga emas memulai pekan ini dengan gap turun tipis namun sempat menguat kembali di sesi Asia sebelum terkoreksi menuju level $3.200. Setelah mencetak rekor tertinggi baru di $3.245, XAU/USD memasuki fase konsolidasi dan turun sekitar 1% ke $3.208. Koreksi ini mencerminkan perubahan sentimen pasar yang kini lebih condong pada aset berisiko.
Penguatan emas pada Jumat lalu—hampir 2%—dipicu oleh lonjakan permintaan safe haven setelah Tiongkok menaikkan tarif balasan terhadap impor AS menjadi 125%. Namun, sentimen mulai membaik setelah pemerintahan Trump mengumumkan pengecualian untuk beberapa produk elektronik seperti smartphone dan laptop, meskipun tetap dikenai tarif eksisting sebesar 20%. AS juga berencana menerapkan tarif terpisah untuk impor teknologi dan semikonduktor dalam dua bulan ke depan.
Membaiknya sentimen risiko tercermin dari kenaikan indeks saham berjangka AS sebesar 1,1% hingga 2% menjelang pembukaan Wall Street. Dengan kalender ekonomi AS yang minim data penting, perhatian investor kini tertuju pada komentar pejabat The Fed dan rencana lanjutan Trump terkait kebijakan perdagangan semikonduktor.
Analisis Pengaruh Terhadap Harga Emas:
Perbaikan sentimen risiko menekan permintaan safe haven: Kenaikan indeks saham berjangka AS menunjukkan minat pasar kembali ke aset berisiko, sehingga permintaan terhadap emas mulai menurun.
Pelonggaran tarif oleh AS meredakan kekhawatiran geopolitik: Pengecualian sementara atas tarif elektronik dan potensi penangguhan tarif otomotif meredam ketegangan dagang, menurunkan minat lindung nilai terhadap emas.
Secara keseluruhan berpengaruh harga emas menguat.
Harga Minyak Masih Tertekan: Perang Dagang AS-Tiongkok dan Kelebihan Pasokan Bayangi Pemulihan Permintaan.

Harga minyak dibayangi risiko resesi dan kelebihan pasokan, dengan potensi Brent turun ke $40 jika skenario buruk ekonomi global dan pencabutan pemangkasan OPEC+ terjadi.
Perang dagang AS-Tiongkok terus menekan proyeksi permintaan minyak, memperdalam ketidakpastian pasar energi global di tengah data rebound yang bersifat sementara.
Harga minyak dunia ditutup sedikit lebih tinggi pada Senin, didorong oleh rebound tajam impor minyak mentah Tiongkok pada Maret dan pengecualian tarif AS untuk sejumlah barang elektronik. Brent naik 12 sen menjadi $64,88 per barel, sementara WTI bertambah 3 sen ke $61,53. Namun, penguatan ini masih terbatas akibat kekhawatiran perang dagang yang berlarut antara AS dan Tiongkok, yang diperkirakan akan menekan pertumbuhan ekonomi global dan permintaan bahan bakar.
Dilansir dari REUTERS, Goldman Sachs memperkirakan harga minyak akan terus menurun hingga akhir tahun depan karena ancaman resesi dan pasokan melimpah dari OPEC+. Bank tersebut memproyeksikan rata-rata harga Brent sebesar $63 dan WTI $59 untuk sisa 2025, lalu turun lagi ke $58 dan $55 pada 2026. Goldman juga memperingatkan bahwa surplus pasokan sebesar 800.000 bpd pada 2025 dan 1,4 juta bpd pada 2026 dapat membuat harga Brent jatuh ke kisaran $40 jika pemangkasan sukarela OPEC+ dibatalkan dan pertumbuhan global terus melemah.
Meskipun ada sentimen positif dari lonjakan impor Tiongkok dan rencana penghapusan ekspor Iran oleh AS, proyeksi permintaan global tetap suram. OPEC telah memangkas perkiraan permintaan 2025 sebanyak 150.000 bpd, sementara Goldman hanya memperkirakan kenaikan permintaan sebesar 300.000 bpd dari akhir 2024 hingga 2025. Pasar kini masuk ke kondisi contango, mencerminkan ekspektasi oversupply berkelanjutan yang membatasi potensi reli harga minyak ke depan.
Analisis Pengaruh Terhadap Harga Minyak:
Penurunan Harga Minyak karena Risiko Resesi & Kelebihan Pasokan
Goldman Sachs memproyeksikan harga minyak Brent dan WTI akan menurun hingga akhir 2025 dan 2026, masing-masing rata-rata di $63/$59 (2025) dan $58/$55 (2026), seiring meningkatnya risiko resesi global dan bertambahnya pasokan dari OPEC+.Permintaan Lemah akibat Perang Dagang Global
Permintaan minyak diperkirakan hanya naik 300.000 bpd hingga akhir 2025, sementara proyeksi pertumbuhan permintaan global untuk Q4 2026 telah dipangkas 900.000 bpd karena eskalasi perang dagang AS-Tiongkok. Tiongkok telah menaikkan tarif terhadap barang-barang AS hingga 125%.Potensi Surplus Besar & Risiko Harga Jatuh ke $40
Meskipun pasar telah memperkirakan sebagian kenaikan stok, Goldman memperkirakan surplus besar 800.000 bpd (2025) dan 1,4 juta bpd (2026). Jika terjadi perlambatan ekonomi global atau OPEC+ membatalkan pemangkasan 2,2 juta bpd secara penuh, harga Brent bisa turun ke kisaran $40, bahkan di bawah $40 dalam skenario ekstrem.
Secara keseluruhan berpengaruh terhadap harga minyak melemah.
Penggerak Pasar Forex dan Komoditi Hari Ini
Tidak ada laporan data ekonomi hari ini sebagai faktor pendorong harga dari aspek fundamental analisis yang merubah sentimen pasar terhadap forex, komoditas dan indeks saham AS.